Gabung menjadi member BelajarAstro KLUB yuk! Cek benefitnya~

Saran pencarian

Planet Saturnus Dalam Proses Kehilangan Cincinnya

Tidak ada yang abadi, itulah ungkapan yang ternyata juga cocok bagi cincin planet Saturnus. Lewat sebuah penelitian, kini diketahui bahwa Saturnus sed

Info Astronomy - Tidak ada yang abadi, itulah ungkapan yang ternyata juga cocok bagi cincin planet Saturnus. Lewat sebuah penelitian, kini diketahui bahwa Saturnus sedang dalam proses kehilangan cincin ikoniknya pada tingkat yang sangat cepat. Apa penyebabnya? Kapan cincinnya akan benar-benar hilang?

Jawaban singkatnya, sistem cincin Saturnus yang megah itu saat ini sedang ditarik lebih dekat menuju sang planet oleh gravitasi sebagai hujan partikel es berdebu di bawah pengaruh medan magnetnya sendiri. Secara teknis, para astronom menyebut fenomena ini hujan cincin.

Menurut James O'Donoghue dari Pusat Penerbangan Antariksa Goddard NASA, yang merupakan penulis utama studi baru ini, diperkirakan bahwa fenomena hujan cincin dapat menguras sejumlah besar material cincin Saturnus yang setara dengan jumlah air dalam kolam renang Olimpiade dalam waktu hanya setengah jam.


Cincin Saturnus sendiri bukan benda solid, melainkan terdiri atas partikel-partikel terpisah yang tak terhitung jumlahnya, yang ukurannya mulai dari seukuran kacang polong hingga sebesar gunung. Partikel-partikel ini sebagian besar terdiri atas es air, dengan sedikit bebatuan.

Ada dua kemungkinan dasar bagaimana Saturnus bisa memiliki cincinnya. Pertama, Saturnus kemungkinan terbentuk bersama dengan cincin-cincinnya secara langsung dari awan besar gas dan debu yang juga membentuk Matahari kita dan planet-planet lain sekitar 4,5 miliar tahun yang lalu.

Atau kedua, yang tampaknya lebih mungkin terjadi daripada kemungkinan pertama, cincin Saturnus tidak langsung ada ketika planet ini terbentuk, melainkan baru terbentuk dari fenomena tabrakan antara bulan-bulan kecil yang mengitari Saturnus, maupun dari bulan-bulan yang mengitari Saturnus terlalu dekat sehingga melampaui batas Roche, sehingga hancur oleh gravitasi.

Penelitian baru mendukung kemungkian kedua itu, serta menunjukkan bahwa usia cincin Saturnus tampaknya jauh lebih muda, masih kurang dari 100 juta tahun.

Nah, dari fenomena hujan cincin yang saat ini sedang terjadi, sistem cincin Saturnus diperkirakan akan bertahan tidak lebih dari 300 juta tahun.


Dengan kata lain, kita cukup beruntung hidup pada masa di mana sistem cincin Saturnus sudah dan masih ada. Bagi kamu yang belum pernah mengamati cincin Saturnus sama sekali, tampaknya sudah harus menyiapkan teleskop nih untuk pengamatan!

Oh iya, petunjuk pertama terjadinya fenomena hujan cincin datang dari pengamatan wahana antariksa Voyager pada awal 1980-an. Partikel cincin Saturnus rupanya terperangkap dalam fenomena penyeimbangan antara tarikan gravitasi Saturnus, yang ingin menarik partikel-partikel cincin itu menuju lebih dekat ke planet, dan kecepatan orbit partikel-partkelnya, yang ingin melepaskan diri ke luar angkasa.

Pada saat yang sama, partikel-partikel cincin ini mendapatkan muatan listrik oleh sinar ultraviolet dari Matahari, maupun oleh awan plasma yang berasal dari mikrometeoroid dari luar angkasa yang terus menabraknya.

Ketika ini terjadi, partikel-partikel cincin ini pada akhirnya merasakan tarikan medan magnet Saturnus, yang melengkung ke dalam menuju planet Saturnus itu sendiri. Alhasil, gravitasi Saturnus menang, menarik mereka semua di sepanjang garis medan magnet ke atmosfer teratas Saturnus.


Sesampai di atmosfer teratas Saturnus, partikel-partikel cincin es ini menguap, dan air yang dikandungnya mulai bereaksi secara kimiawi dengan ionosfer Saturnus. Salah satu hasil dari reaksi ini adalah peningkatan partikel bermuatan listrik yang disebut ion H3+, yang terdiri dari tiga proton dan dua elektron.

Ketika diberi energi oleh sinar Matahari, ion H3+ bersinar dalam cahaya inframerah. Nah, cahaya inframerah inilah yang diamati oleh O'Donoghue dan rekan-rekannya menggunakan instrumen khusus yang dipasang pada teleskop Keck di Mauna Kea, Hawaii.

Pengamatan mereka mengungkapkan adanya pita bercahaya di belahan utara dan selatan Saturnus, di mana garis medan magnet yang memotong bidang cincin memasuki planet ini. Mereka menganalisis cahaya untuk menentukan jumlah hujan dari cincin dan efeknya pada ionosfer Saturnus. Hasilnya, ditemukan bahwa pita bercahaya tersebut memang berasal dari cincin Saturnus.

Sumber:
  • O’Donoghue, J., Moore, L., Connerney, J., Melin, H., Stallard, T. S., Miller, S., & Baines, K. H. (2019). Observations of the chemical and thermal response of ‘ring rain’on Saturn’s ionosphere. Icarus, 322, 251-260.
  • Morooka, M. W., Wahlund, J. E., Hadid, L. Z., Eriksson, A. I., Edberg, N. J., Vigren, E., ... & Perry, M. (2019). Saturn's dusty ionosphere. Journal of Geophysical Research: Space Physics, 124(3), 1679-1697.
Ada perlu? Hubungi saya lewat riza@belajarastro.com

Posting Komentar

Kami sangat senang menerima komentar dari Anda. Sistem kami memoderasi komentar yang Anda kirim, jadi mungkin membutuhkan waktu beberapa saat untuk komentar Anda muncul di sini. Komentar dengan link/url akan otomatis dihapus untuk keamanan. Berkomentarlah dengan sopan dan santun.