Gabung menjadi member BelajarAstro KLUB yuk! Cek benefitnya~

Saran pencarian

Magnitudo: Seberapa Terang Sebuah Bintang?

Kamu mungkin pernah membaca kalau bintang Sirius memiliki magnitudo sekian, atau kemunculan planet Venus di langit memiliki magnitudo sekian. Tapi, tahukah kamu apa itu "magnitudo"?
Bintang dan magnitudonya. Kredit: John Chumack
Info Astronomy - Kamu mungkin pernah membaca kalau bintang Sirius memiliki magnitudo sekian, atau kemunculan planet Venus di langit memiliki magnitudo sekian. Tapi, tahukah kamu apa itu "magnitudo"?

Dalam astronomi, magnitudo adalah skala kecerahan bintang. Sistem magnitudo ini diperkenalkan oleh astronom Yunani, Hipparchus dalam katalog bintangnya pada tahun 129 SM, dan kemudian dimasukkan oleh astronom Claudius Ptolemy sekitar 140 SM dalam katalognya.

Ada dua jenis magnitudo yang diketahui. Pertama, magnitudo visual, yakni skala kecerahan benda langit ketika diamati dari Bumi dengan mata telanjang. Kedua, magnitudo absolut, skala kecerahan intrinsik bintang itu sendiri.

Menurut skala magnitudo ini, bintang-bintang paling terang di langit malam kita memiliki magnitudo 1, sementara bintang yang sangat redup dalam pandangan mata memiliki magnitudo 6. Itu artinya, semakin besar angka magnitudo, semakin redup sebuah benda langit. Bintang bermagnitudo 2 lebih redup dari bintang bermagnitudo 1, begitu pun bintang bermagnitudo 5 yang lebih terang dari bintang bermagnitudo 6.

Sistem magnitudo rancangan Hipparchus di atas memang sangat sederhana, tapi semua itu berubah ketika negara api menyerang Galielo Galilei bermain-main dengan alat termutakhirnya: teleskop.

Dengan teleskop, Galileo rupanya menemukan ada banyak bintang yang lebih redup dari bintang bermagnitudo 6, sehingga berkembanglah sistem magnitudo ini. Saat ini, banyak bintang-bintang redup yang memiliki magnitudo 7, 8, hingga 9. Namun, skala magnitudo ini hanyalah magnitudo visual saja.

Selanjutnya, pada pertengahan abad ke-19, para astronom mulai menyadari untuk mendefinisikan seluruh skala sistem magnitudo bintang secara matematis agar lebih presisi daripada hanya dengan penilaian melalui pengamatan saja.

Kala itu, para astronom telah merumuskan bahwa bintang dengan magnitudo 1 haruslah bersinar sekitar 100 kali lebih terang dari cahaya bintang magnitudo 6, dan bintang bermagnitudo 6 bersinar 100 kali lebih terang dari bintang bermagnitudo 11. Begitupun seterusnya.

Perhitungan matematis ini dikenal sebagai rasio Pogson, istilah yang diambil dari nama astronom asal Inggris kala itu, Norman Robert Pogson, yang dengan telaten membuat logaritma perhitungan skala magnitudo bintang.

Tak hanya skala magnitudo besar yang berkembang, tapi juga magnitudo kecil. Berkembangnya teknologi pengamatan langit umat manusia membuat para astronom bisa menemukan bintang yang lebih terang dari magnitudo 1. Maka muncul lagi magnitudo 0, -1, -2, dan seterusnya. Semakin kecil, semakin terang. Sebagai contoh, magnitudo visual Matahari adalah -26!

Lalu, bagaimana dengan magnitudo absolut? Magnitudo absolut bisa ditentukan apabila jarak bintang dan magnitudo visualnya telah diketahui. Magnitudo ini adalah magnitudo bintang yang berada pada jarak 10 parsec dari Bumi.

Seperti yang telah disinggung di atas juga, magnitudo absolut tergantung dengan bagaimana sifat intrinsik bintang, atau luminositas sesungguhnya. Sebagai contoh lagi, Matahari yang memiliki magnitudo visual -26 rupanya hanya memiliki magnitudo absolut 4,7. Itu artinya Matahari tidak terang-terang banget bila dibandingkan dengan bintang Betelgeuse yang magnitudo absolutnya -6.

Saat ini, para astronom tidak menghitung magnitudo secara manual lagi, melainkan menggunakan instrumen yang dikenal sebagai fotometer (sebuah alat pengukur cahaya). Dengan fotometer, kita bisa mencari tahu seberapa kuat cahaya yang dipancarkan sebuah benda langit untuk menghitung magnitudonya, dan bahkan bisa mengetahui jaraknya juga.
Ada perlu? Hubungi saya lewat riza@belajarastro.com