![]() |
Titan, satelit alami terbesar milik Saturnus. Kredit: NASA |
Selain menjadi satu-satunya benda langit di luar Bumi yang memiliki atmosfer padat dan kaya nitrogen, Titan juga memiliki danau metana di permukaan dan awan metana di atmosfernya. Siklus hidrologi ini, di mana metana diubah dari bentuk cair ke gas dan kembali lagi menjadi cair, sangat mirip dengan siklus air di Bumi.
Berkat misi Cassini-Huygens oleh NASA dan ESA, yang berakhir pada 15 September 2017 ketika Cassini diterjunkan ke atmosfer Saturnus, kita telah belajar banyak tentang Titan dalam beberapa tahun terakhir. Penemuan terakhir, yang dibuat oleh tim ilmuwan dan ahli geologi UCLA, berkaitan dengan badai hujan metana Titan. Meski jarang terjadi, badai hujan ini nampak agak ekstrem.
Studi yang telah muncul dalam jurnal ilmiah Nature Geoscience ini dipimpin oleh Saun P. Faulk, seorang pascasarjana di Departemen Ilmu Bumi, Keplanetan, dan Antariksa UCLA. Faulk dan timnya berhasil melakukan simulasi curah hujan Titan untuk mengetahui bagaimana cuaca ekstrem di sana telah membentuk permukaan satelit alami tersebut.
Apa yang mereka temukan adalah bahwa badai hujan metana yang ekstrem di Titan telah mempengaruhi bentuk permukaan es Titan dengan cara yang sama seperti badai hujan ekstrem membentuk dan mengubah kondisi permukaan berbatu di Bumi.
Di Bumi, hujan badai yang intens memainkan peran penting dalam evolusi geologi. Saat curah hujan cukup tinggi, badai bisa memicu arus air yang besar yang mengangkut sedimen ke dataran rendah, di mana ia membentuk fitur berbentuk unik yang dikenal sebagai kipas aluvial.
Selama misinya masih berlangsung, wahana antariksa Cassini sempat menemukan bukti fitur kipas aluvial serupa pada permukaan Titan dengan menggunakan instrumen radarnya, yang menunjukkan bahwa permukaan Titan ternyata memang dipengaruhi oleh curah hujan yang intens.
Dalam penelitian ini, Faulk dan rekan-rekannya menemukan bahwa fitur kipas aluvial mendominasi area Titan yang berada pada lintang 50 sampai 80 derajat, yakni di dekat bagian tengah utara dan selatan, sedikit lebih dekat ke kutub daripada khatulistiwa Titan.
![]() |
Kipas aluvial di Bumi. Kredit: Sci-news.com |
Hasil simulasi siklus hidrologi ini pun sesuai dengan wilayah di mana fitur kipas aluvial paling banyak ditemukan di permukaan Titan, sehingga ini menjadi bukti yang menunjukkan bahwa Titan memang mengalami curah hujan yang sangat ekstrem.
Walau begitu, penelitian ini juga menemukan bahwa hujan badai metana di Titan agak jarang terjadi, yang bahkan diperkirakan hanya terjadi kurang dari satu kali per tahun Titan (yang mencapai sekitar 29,5 tahun Bumi).
Pada akhirnya, memahami hubungan antara curah hujan dan permukaan planet dapat menghasilkan wawasan baru tentang dampak perubahan iklim terhadap Bumi dan planet lainnya. Pengetahuan semacam itu juga akan membantu kita mengurangi dampak yang bisa terjadi di Bumi, di mana perubahannya bisa secara tiba-tiba dan sangat berbahaya.
Dan, siapa yang tahu? Suatu hari nanti, bahkan bisa membantu kita mengubah lingkungan di planet atau bulan lain, atau yang populer dikenal sebagai teraformasi, sehingga membuat mereka lebih cocok untuk pemukiman manusia jangka panjang!
Sumber: UCLA, Nature.