Gabung menjadi member BelajarAstro KLUB yuk! Cek benefitnya~

Saran pencarian

Keilmuan Islam yang Melahirkan Astronomi Modern

Astronomi merupakan ilmu alam tertua di dunia. Sebelum manusia mempelajari langit secara sistematis, peradaban sebelum kita hanya mengamati gerakan beberapa titik terang di langit, lalu mencatatnya. Tapi tahukah Anda, astronomi modern yang kini kita pelajari banyak dilahirkan dari peradaban Islam?
Ilustrasi. Kredit: FineArtAmerica.com
Info Astronomy - Astronomi merupakan ilmu alam tertua di dunia. Sebelum manusia mempelajari langit secara sistematis, peradaban sebelum kita hanya mengamati gerakan beberapa titik terang di langit, lalu mencatatnya. Tapi tahukah Anda, astronomi modern yang kini kita pelajari banyak dilahirkan dari peradaban Islam?

Sekitar abad ke-6, Eropa memasuki Abad Kegelapan. Pada periode waktu ini, mulai dari 500 SM sampai abad ke-13, pemikiran-pemikiran intelektual dan keilmuan astronomi di seluruh benua Eropa tidak diterima karena bertentangan menurut pandangan keagamaan gereja. Selama masa ini pula, jarang ada penelitian dari tanah Eropa.

Sementara Eropa berada di Abad Kegelapan kala itu, kerajaan Islam yang membentang dari Al-Andalus, Mesir, hingga China, memasuki Abad Keemasan. Astronomi menjadi ilmu yang menarik bagi ulama Islam di Iran dan Irak sekitar tahun 800 SM.

Satu-satunya buku astronomi yang dipublikasikan kala itu adalah karta Ptolemy, "Almagest," yang ditulis sekitar 100 M di Yunani. Buku ini sempat digunakan sebagai acuan utama untuk astronomi bagi akademisi kala itu. 700 tahun setelah dipublikasikan, "Almagest" diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Para astronom seperti Ibnu Yunus dari Mesir lantas menemukan kesalahan dalam perhitungan Ptolemy tentang pergerakan planet-planet dan orbit eksentriknya. Ptolemy menjelasan bagaimana planet mengorbit di angkasa, termasuk bagaimana Bumi bergerak. Ptolemy menghitung bahwa goyangan Bumi, atau presesi seperti yang kita tahu saat ini, bervariasi 1 derajat setiap 100 tahun.

Namun, astronom Ibnu Yunus menemukan bahwa perhitungan Ptolemy salah, yang mana sebenarnya goyangan atau presesi Bumi adalah 1 derajat setiap 70 tahun. Penemuan oleh Ibnu Yunus dan beberapa astronom lain seperti Ibnu al-Shatir mengubah pandangan astronomi selamanya. Model heliosentris akhirnya diusulkan oleh Copernicus pada abad ke-16 berdasarkan perhitungan astronom-astronom Muslim ini.

Almagest dalam bahasa Arab. Kredit: Wikimedia Commons
Setelah itu, para astronom sadar bahwa matematika diperlukan dalam astronomi. Para astronom Muslim ini pun mengembangkan trigonometri bola dan aljabar, dua bentuk matematika dasar untuk perhitungan bintang secara presisi.

Pada abad ke-8 di bawah Khalifah al-Mamun al-Rashid, observatorium pertama dibangun di Baghdad dan observatorium berikutnya dibangun di sekitar Irak dan Iran. Sayangnya, observatorium kala itu belum mengenal teleskop, sehingga para astronom menciptakan sextants observasional, alat selebar 40 meter untuk mempelajari sudut Matahari, pergerakan bintang-bintang, dan pemahaman tentang planet yang mengitari Matahari.

Sekitar tahun 964 M, sudah semakin banyak pengamatan yang dilakukan, salah satu astronom yang paling terkenal di Iran adalah Abdul al-Rahman al-Sufi yang menerbitkan The Book of Fixed Stars, salah satu buku yang paling komprehensif dalam membahas rasi bintang di langit.

Abdul al-Rahman al-Sufi juga merupakan astronom pertama yang mengamati galaksi Andromeda dan galaksi satelit Awan Magelan Besar. Pengamatan ini beliau lakukan murni dengan mata telanjang karena teleskop belum diciptakan. Tentu saja, saat itu beliau tidak tahu bahwa itu adalah galaksi, beliau menganggapnya sebagai "awan" dalam bukunya. Buku ini kemudian terbukti berguna untuk pengamatan astronom Denmark, Tycho Brahe.

Kemudian pada abad ke-13, ilmuwan dan filsuf Nasir al-Din al-Tusi menciptakan Tusi Couple yang terkenal. Tusi Couple ini adalah untuk menjelaskan gerakan linear benda-benda langit tertentu atas dasar gerakan melingkar. Ptolemy memiliki kesulitan menjelaskan fenomena ini, sampai akhirnya Tusi Couple mampu menjelaskannya.

Sepanjang waktu ini, dari awal Abad Keemasan sampai Renaissance awal, banyak universitas dan madrasah yang dibangun oleh kerajaan Islam. Banyak ulama dari seluruh dunia, bahkan para ilmuwan Kristen dan Yahudi yang sangat antusias belajar astronomi, matematika, dan filsafat di universitas maupun madrasah tersebut.

Ini hanyalah contoh dari beberapa pekerjaan yang dilakukan oleh para astronom, filsuf dan ilmuwan Muslim selama ribuan tahun, yang kini hasil pekerjaan dan penelitiannya menjadi dasar lahirnya astronomi modern.

Mempelajari astronomi sebenarnya lebih mempelajari budaya Islam. Jika Anda pernah melihat sabuk Orion, bintang-bintang seperti Sirius, Rigel, Aldebaran, sampai bintang-bintang biner di Big Dipper, maka Anda sedang melihat sebagian kecil dari warisan yang dipelajari oleh ilmuwan Muslim sejak zaman dahulu.

Sayang, Abad Keemasan bagi astronomi Islam itu sekarang ini sepertinya sudah berakhir. Justru negara-negara Barat dan Eropa yang kini mulai memasuki Abad Keemasan dalam penelitian astronominya. Mereka dengan giatnya menjelajah luar angkasa dan Tata Surya.

Seperti terbalik memang. Kini peradaban Islam lebih sibuk memperdebatkan agama. Bahkan di Indonesia lebih bikin meringis lagi; pandangan Bumi datar kini digandrungi pemuda-pemudi, menganggap bahwa astronomi adalah pemahaman yang keliru.

Tak bisakah kita membahas atau mempelajari sesuatu yang lebih penting? Sesuatu yang membuat kita kembali ke Abad Keemasan?


Sumber: Astronomy.com, Wikipedia.org, Astronomicalheritage.net
Ada perlu? Hubungi saya lewat riza@belajarastro.com

Posting Komentar

Kami sangat senang menerima komentar dari Anda. Sistem kami memoderasi komentar yang Anda kirim, jadi mungkin membutuhkan waktu beberapa saat untuk komentar Anda muncul di sini. Komentar dengan link/url akan otomatis dihapus untuk keamanan. Berkomentarlah dengan sopan dan santun.