Kabut asap tebal menyelimuti Pulau Kalimantan, Indonesia. Kredit: NASA, Earth Observatory |
Titik-titik merah pada citra di atas menunjukkan titik api yang secara otomatis terdeteksi sensor satelit Aqua. Asap pekat yang mengepul ke udara telah memicu peringatan kualitas udara dan peringatan kesehatan di Indonesia dan negara-negara tetangga.
Kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan pada tiga bulan belakangan ini disebabkan oleh penebangan dan pembakaran hutan yang berlebihan untuk membuka lahan baru. Di Kalimantan Selatan, tujuan pembukaan lahan baru adalah untuk membuat ruang penanaman kelapa sawit dan akasia, sayangnya dengan teknik yang salah dan cenderung tidak becus.
Banyak dari hutan yang terbakar di daerah dengan tanah yang mengandung campuran lahan gambut yang kering. Kebakaran lahan gambut cenderung sulit untuk dipadamkan, walaupun api sudah hilang namun asap akan terus ada hingga berbulan-bulan lamanya.
Dibandingkan dengan jenis lain dari kebakaran, kebakaran lahan gambut melepaskan jumlah polutan yang luar biasa. Kebakaran lahan gambut melepaskan tiga kali lebih banyak karbon monoksida dan sepuluh kali lebih banyak melepaskan metana dari jenis kebakaran lainnya.
Menurut data emisi yang digunakan oleh ilmuwan Guido van der Werf dari Vrije Universiteit Amsterdam, kebakaran hutan di Indonesia telah melepaskan kurang lebih 1,1 miliar ton karbon dioksida sepanjang tahun ini.
Para ilmuwan NASA yang memantau kebakaran hutan di Indonesia memperkirakan kebakaran hutan dan kabut asap tebal ini akan terus terjadi sampai musim hujan tiba di akhir Oktober. Namun, mereka juga mengingatkan bahwa musim kemarau bisa sangat panjang di Indonesia tahun ini karena mega El Nino di Samudera Pasifik.
Info Astronomy turut bersimpati kepada kawan-kawan yang terkena dampak asap akibat kebakaran hutan. Semoga musim hujan segera tiba.