Dokumen Info Astronomy |
"Koalisi" yang tak terduga itu berakibat dahsyat. Produksi uap air yang ada di Indonesia bagian bagian barat menurun (akibat dipole mode positif). Di bagian timur pun sami mawon (akibat el nino). Praktis udara Indonesia menjadi lebih kering. Api mudah tersulut. Dalam situasi seperti itu justru mulai terjadi bakar-bakaran lahan sebagai jalan termudah dan termurah untuk 'membersihkan' lahan. Praktis jerebu (asap) pun menyerbu kemana-mana.
Jerebu tak sekedar bikin jiran seperti Malaysia dan Singapura mencak-mencak. Namun serbuan kabut jerebu bahkan menjadi salah satu faktor yang berkontribusi pada jatuhnya pesawat Airbus A300-B4 PK-GAI Garuda Indonesia penerbangan 152 di Sibolangit, dekat Medan (Sumatra Utara).
Saat pesawat sedang bersiap untuk mendarat di bandara Polonia. 234 orang meregang nyawa, menjadikannya sebagai kecelakaan udara paling mematikan sepanjang sejarah Indonesia (hingga hari ini). Dikombinasikan dengan gangguan kesehatan dan efek-efek lainnya khususnya di Riau, entah berapa triliun kerugian yang diderita pada saat itu.
Kini, sudah 18 tahun berlalu. Namun celakanya kabut asap justru menjadi ritual tahunan. Bencana tahunan setiap musim kemarau datang. Nyaris tak ada pengurangan intensitas kabut asap dari waktu ke waktu. Padahal penyebabnya jelas, asap itu bukan asap vulkanik, ia hanya bisa muncul di udara jika ada yang membakar lahan. Dan itu jelas ulah manusia.
Semakin banyak lahan yang terbakar, semakin banyak asap yang dilepaskan dan semakin pekat kabut asapnya. Ini bukan bencana alam. Dan mau sampai kapan seperti ini terus?
Muh. Ma'rufin Sudibyo