Foto bersejarah yang diambil tim observatorium Postdam (Jerman) dalam Gerhana Matahari Total 9 Mei 1929 di Takengon (Aceh). Kredit: Ma'rufin Sudibyo |
Seluruh Indonesia bakal tercakup dalam zona penumbra sementara zona umbra yang lebarnya hanya 155 km membentang melintasi propinsi Bengkulu, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Tengah.
Kota-kota seperti Palembang, Palangka Raya dan Palu menjadi tiga dari sekian titik yang menikmati Matahari tertutupi Bulan sepenuhnya. Sementara seluruh bagian Indonesia lainnya hanya berkesempatan menyaksikan Matahari tergerhanai sebagian dengan persentase penutupan cakram matahari oleh bundaran Bulan bervariasi mulai dari 60 % hingga 98 %.
Gerhana Matahari Total 2016 menjadi istimewa karena selain menjadi Gerhana Matahari Total pertama bagi Indonesia di abad ke-21 dan gerhana total pertama dalam 18 tahun terakhir (terhitung sejak 1998), gerhana ini juga terjadi seabad pasca revolusi Einstein.
Hampir seratus tahun silam, tepatnya pada bulan November 1915, Albert Einstein memantik revolusi ilmu pengetahuan baru di tengah dunia yang muram seiring berkecamuknya Perang Dunia 1. Melalui pergulatan pemikiran yang melelahkan selama sepuluh tahun, Einstein akhirnya mengumumkan lahirnya relativitas umum lewat rangkaian empat ceramahnya di hadapan anggota-anggota Akademi Sains Prusia, bertempat di Aula Perpustakaan Negara Prusia, jantung kota Berlin.
Inilah teori revolusioner yang mengubah cara pandang kita akan jagat raya. Inilah teori yang bisa menjelaskan perilaku benda-benda langit mulai dari Matahari hingga galaksi dan benda-benda langit yang aneh mulai dari bintang cebol putih hingga sekelas lubang hitam yang misterius.
Sebagai gagasan baru yang terasa menyebar dari akal sehat, relativitas umum butuh bukti kuat agar diterima menjadi teori mapan. Relativitas umum memang berhasil meramalkan gerak-gerik Merkurius yang aneh dan hasilnya sesuai dengan hasil observasi para astronom, meski banyak pula yang masih meragukannya.
Tetapi relativitas umum juga menawarkan kemungkinan pembuktian lain yang menggoda: seberkas cahaya tak lagi merambat lurus kala melintas di dekat benda massif seperti Matahari dan bintang-gemintang lainnya, melainkan sedikit membelok. Dan Gerhana Matahari Total menyediakan peluang terbaik untuk membuktikan hal itu.
Tatkala siang mendadak menjadi gelap akibat tertutupinya cakram Matahari oleh bundaran Bulan sepenuhnya, bintang-bintang yang nampak ada di dekat Matahari saat itu bakal terlihat sehingga posisinya bisa diukur. Jika relativitas umum benar, maka posisi bintang-bintang tersebut bakal beringsut sedikit dari posisi sesungguhnya. Pembelokan cahaya yang memesona ini memang berhasil diamati dalam Gerhana Matahari Total 29 Mei 1919 oleh tim pengamat dari observatorium Greenwich (Inggris) yang dipimpin Arthur Eddington.
Namun akibat langkanya peristiwa Gerhana Matahari Total dan cuaca yang tak selalu mendukung, dalam 10 tahun kemudian hanya ada dua pembuktian ulang. Dan Indonesia turut berperan dalam momen penting ini, tepatnya dari kota kecil Takengon di tepi Danau Laut Tawar (Aceh).
Adalah Erwin F. Freundlich, astronom muda Jerman dan sekaligus tangan kanan Einstein sendiri, yang membawa rombongan tim observatorium Postdam (Jerman) untuk mengabadikan Gerhana Matahari 9 Mei 1929.
Tujuh buah lempeng foto berhasil diambil, dengan waktu paparan antara 14 hingga 90 detik dengan luas cakupan foto antara 3 x 3 derajat hingga 7,5 x 7,5 derajat.
Hasilnya? Einstein benar. Matahari melengkungkan ruang-waktu disekitarnya sedemikian rupa sehingga seberkas cahaya tak punya pilihan lain kecuali bergerak dalam lengkungan kosmos tersebut. Dan observasi Takengon menjadi observasi paling presisi yang pernah ada hingga saat itu.
Referensi: Ma'rufin Sudibyo