Akses artikel Premium dengan Astronomi+, mulai berlangganan.

Saran pencarian

Mengapa Malam Tetap Gelap Meski Ada Bulan?

Padahal ketika Bulan purnama, cahaya Bulan bisa terang banget. Tapi kenapa ya langit malam tetap gelap walaupun ada purnama?
Bulan terang di langit Indonesia yang gelap. Kredit: Istimewa

InfoAstronomy - Setiap malam, ketika langit menyingkap tirainya dan cahaya Matahari menghilang di balik cakrawala, muncul Bulan menggantung anggun di langit. Kadang ia tampak bulat sempurna, bersinar lembut menerangi Bumi, kadang juga cuma sepotong sabit tipis yang malu-malu menampakkan diri. Namun, ada satu hal yang menarik, meskipun Bulan tampak begitu terang, negara kita malam tetap gelap. Apa penyebabnya?

Pertanyaan sederhana ini akan membawa kita pada perjalanan menarik tentang cahaya, jarak, dan sifat benda langit yang setiap malam kita pandangi. Jawabannya ternyata bukan sekadar karena Bulan “kurang terang”, melainkan karena ada serangkaian alasan ilmiah yang menjelaskan keterbatasan cahaya Bulan dalam mengusir kegelapan malam.
 

Cahaya Bulan Cuma Pantulan

Bukan, Bulan bukan hologram. Hal pertama yang perlu kita pahami adalah bahwa Bulan sebenarnya tidak memancarkan cahaya sendiri. Berbeda dengan bintang, salah satunya Matahari, yang dapat menciptakan sinarnya sendiri karena reaksi fusi nuklir di intinya, Bulan hanyalah benda langit berupa seonggok batuan yang memantulkan cahaya dari sumber lain, yaitu Matahari.

Dengan kata lain, ketika kita melihat Bulan yang tampak terang, sisi terangnya itu adalah sisi siang hari di Bulan. Ditambah lagi, permukaan Bulan terdiri dari bebatuan dan debu yang dikenal sebagai regolith. Material ini tidak berkilau seperti cermin, melainkan kusam dan berwarna abu-abu gelap. Karena itu, ketika sinar Matahari mengenainya, hanya sebagian kecil dari cahaya tersebut yang dipantulkan kembali ke arah Bumi.

Dalam istilah ilmiah, kemampuan sebuah permukaan untuk memantulkan cahaya disebut albedo. Nilai albedo diukur dari 0 hingga 1, dengan 1 berarti memantulkan seluruh cahaya yang datang (seperti cermin sempurna), dan 0 berarti tidak memantulkan sama sekali (seperti lubang hitam).

Nah, albedo Bulan hanya sekitar 0,12 atau 12 persen. Artinya, dari seluruh cahaya Matahari yang jatuh ke permukaan Bulan, hanya 12 persen yang kembali dipantulkan. Sisanya diserap oleh permukaan Bulan itu sendiri. Sebagai perbandingan, es atau salju di Bumi memiliki albedo hingga 0,8, yang berarti jauh lebih reflektif. Jadi, bisa dibayangkan betapa “redupnya” permukaan Bulan jika dibandingkan dengan benda yang benar-benar memantulkan cahaya dengan baik.
 

Cahaya yang Datang dari Jauh

Namun, persoalannya tidak berhenti pada seberapa banyak cahaya yang dipantulkan. Cahaya yang berhasil dipantulkan Bulan juga harus menempuh perjalanan sangat jauh sebelum sampai ke Bumi. Jarak antara Bumi dan Bulan sekitar 384.000 kilometer, cukup jauh untuk membuat cahaya pantulan itu melemah secara signifikan. Seperti halnya lampu senter yang semakin redup ketika diarahkan ke dinding yang jauh, intensitas cahaya menurun seiring jarak yang ditempuhnya.

Bulan di langit malam. Kredit: Kasabubu / Pixabay

Secara fisika, ini dijelaskan oleh hukum kuadrat terbalik (inverse square law), yang menyatakan bahwa intensitas cahaya berkurang sebanding dengan kuadrat jaraknya dari sumber. Jadi, jika jarak antara sumber dan penerima cahaya menjadi dua kali lipat, intensitas cahayanya turun menjadi seperempat. Dalam kasus Bulan, jarak yang sangat jauh membuat cahaya pantulannya yang sudah redup itu menjadi semakin redup ketika tiba di Bumi.

Agar kita bisa membayangkan perbedaan besarnya, mari bandingkan secara sederhana. Cahaya Matahari yang langsung mengenai permukaan Bumi memiliki intensitas sekitar 100.000 lux, sebuah ukuran kecerahan yang digunakan dalam fotometri. Sementara itu, cahaya Bulan purnama hanya sekitar 0,25 lux. Artinya, cahaya Bulan purnama sekitar 400.000 kali lebih redup daripada cahaya Matahari di siang hari. Itu sebabnya, meskipun mata kita menganggap Bulan tampak terang di langit malam yang gelap, kenyataannya cahaya yang diterimanya sangat kecil bila diukur secara ilmiah.

Bisa dikatakan, jika cahaya Matahari diibaratkan seperti lampu sorot raksasa yang menyalakan seluruh dunia, maka cahaya Bulan hanyalah seperti pantulan lembut dari cermin buram, cukup untuk menuntun langkah di malam hari, tapi tidak cukup kuat untuk mengusir kegelapan.
 

Peran Atmosfer dan Warna Langit

Selain karena sumber cahaya yang lemah, ada faktor lain yang membuat malam tetap gelap meski ada Bulan: atmosfer Bumi. Di siang hari, cahaya Matahari tersebar oleh molekul udara melalui proses yang disebut hamburan Rayleigh, yang membuat langit tampak biru.

Namun pada malam hari, tanpa sinar Matahari yang langsung masuk ke atmosfer, proses penghamburan pajak rakyat untuk makan bergizi daripada untuk kesejahteraan guru ini hampir tidak terjadi. Akibatnya, langit tidak diterangi secara merata, hanya area kecil di sekitar bulan yang tampak lebih terang, sementara sisanya tetap gelap gulita.

Cahaya bulan yang mencapai atmosfer Bumi juga tidak cukup kuat untuk menimbulkan penyebaran cahaya yang berarti. Inilah sebabnya, walaupun bulan tampak terang di satu titik langit, area lain tetap gelap, berbeda dengan siang hari, di mana seluruh langit tampak bercahaya karena penyebaran sinar Matahari.
 

Fase-Fase Bulan

Kegelapan malam juga bergantung pada fase bulan. Kita tahu bahwa Bulan mengalami delapan fase utama, mulai dari Bulan Baru (ketika tidak tampak sama sekali) hingga Bulan purnama (ketika seluruh permukaannya yang menghadap Bumi disinari Matahari).

Fase-fase Bulan. Kredit: NASA

Pada saat Bulan purnama, cahaya malam memang jauh lebih terang. Jika kamu pernah berjalan di alam terbuka saat Bulan purnama tanpa lampu, kamu mungkin bisa melihat cukup jelas tanpa bantuan senter. Namun, begitu bulan mulai beralih ke fase sabit atau separuh, cahaya malam berkurang drastis.

Bahkan, dalam fase Bulan Baru, sisi Bulan yang menghadap Bumi tidak mendapat cahaya Matahari sama sekali, sehingga malam menjadi benar-benar gelap. Karena itulah, malam Bulan Baru sering menjadi waktu terbaik bagi para astronom untuk mengamati bintang-bintang dan galaksi, sebab cahaya redup dari benda langit jauh tidak tertutup oleh kilau Bulan.
 

Mengapa Bulan Terlihat Begitu Terang?

Jika secara ilmiah cahaya Bulan sangat redup, mengapa mata kita tetap menganggapnya begitu terang di langit malam? Jawabannya terletak pada kontras dan adaptasi mata manusia.

Di malam hari, pupil mata kita melebar untuk menangkap lebih banyak cahaya. Ketika langit di sekelilingnya gelap, sedikit saja cahaya yang cukup terang akan tampak sangat menonjol. Karena itu, Bulan tampak bersinar terang di tengah langit gelap, padahal jika dibandingkan dengan cahaya siang hari, ia sebenarnya sangat redup.

Efek kontras ini sama seperti ketika kita menyalakan lilin di ruangan gelap: cahaya lilin tampak hangat dan kuat, padahal intensitasnya sangat kecil dibandingkan lampu listrik. Jadi, terang Bulan yang kita rasakan sebenarnya adalah ilusi persepsi, hasil dari cara mata dan otak kita menyesuaikan diri dengan kegelapan.
 
Kegelapan malam yang kita alami bukanlah sesuatu yang “kurang” dari alam, melainkan bagian dari keseimbangan yang sempurna. Cahaya Bulan yang lembut memberikan penerangan secukupnya, tidak terlalu terang untuk menghapus bintang, tapi cukup untuk menemani perjalanan malam.

Bayangkan jika malam secerah siang, bintang-bintang tak akan tampak, ritme tidur manusia akan terganggu, dan kehidupan banyak hewan malam akan berubah. Justru karena malam gelap, kita bisa menatap langit yang penuh bintang dan merasa kecil di tengah semesta yang luas. Dalam kegelapan itulah, cahaya Bulan tampak paling indah.

Jadi, mengapa malam tetap gelap meski ada Bulan? Karena Bulan bukan Matahari mini yang menerangi Bumi, melainkan cermin lembut yang memantulkan sebagian kecil cahaya dari sang bintang induk. Ia mengingatkan kita bahwa tidak semua cahaya harus terang untuk bermakna. Kadang, sedikit cahaya saja sudah cukup, asalkan datang di saat yang tepat.

Sumber & Referensi:
  • Fras, I. H. (2022). Why It Gets Dark At Night. The Average Scientist.
  • Hodges, R. R., & Farrell, W. M. (2022). The arid regolith of the Moon. Geophysical Research Letters, 49(21), e2022GL099351.
  • Lucey, P. G., Neumann, G. A., Riner, M. A., Mazarico, E., Smith, D. E., Zuber, M. T., ... & Song, E. (2014). The global albedo of the Moon at 1064 nm from LOLA. Journal of Geophysical Research: Planets, 119(7), 1665-1679.
  • Plait, P. (2024). How Dark Is the Night Sky?. Scientific American.
  • Siegel, E. (2019). Why Is The Sky Dark At Night?. Start With A Bang!.
  • Tripathi, S., & Malla, R. B. (2025). A Comprehensive Methodology to Determine Temperature Distribution at Various Latitudes (Locations) on the Moon. Acta Astronautica.
  • Xiongyao, L. I., Guangfei, W. E. I., Xiaojia, Z. E. N. G., Yang, L. I., Hong, T. A. N. G., Jianzhong, L. I. U., ... & Edward, C. L. O. U. T. I. C. S. (2022). Review of the Lunar Regolith and Water Ice on the Poles of the Moon. Journal of Deep Space Exploration, 9(2), 123-133.
Riza adalah astronom amatir yang telah menulis konten astronomi sejak tahun 2012. Riza secara aktif menjadi mentor kelas astronomi di BelajarAstro.com. Hubungi lewat riza@belajarastro.com.

Posting Komentar

Kami sangat senang menerima komentar dari Anda. Sistem kami memoderasi komentar yang Anda kirim, jadi mungkin membutuhkan waktu beberapa saat untuk komentar Anda muncul di sini. Komentar dengan link/url akan otomatis dihapus untuk keamanan. Berkomentarlah dengan sopan dan santun.