Astronot Indonesia. Kiri: Taufik Akbar, Kanan: Pratiwi Pujilestari. Kredit: LAPAN |
Ingin pergi ke luar angkasa? Melihat kedahsyatan bintang-bintang, planet, dan galaksi di luar tata surya?
Mimpi Indonesia untuk menerbangkan manusia ke luar angkasa sejatinya sudah diretas sejak 26 tahun lalu. Pada Oktober 1985, seorang perempuan cerdas Indonesia, Pratiwi Pujilestari Sudarmono terpilih ikut dalam program misi luar angkasa NASA, STS-61-H. Sebagai cadangannya, Taufik Akbar.
Namun, tragedi ledakan pesawat ulang-alik Challenger, 28 Januari 1986 memupuskan ambisi itu. Seperti diketahui Challenger meledak hanya 73 detik setelah lepas landas. Tujuh astronotnya tewas, dalam hitungan menit, setelah mereka melambai dari layar dan mengucapkan selamat tinggal.
Agustus 2003, Perdana Mentri Malaysia, Mahathir Muhammad mengumumkan program kerjasama dengan Rusia untuk mengirimkan astronot Malaysia ke luar angkasa. Program ini sebagai bagian dari perjanjian kerjasama pembelian pesawat tempur Sukhoi SU-30MKM antara Malaysia dan Rusia.
Dalam kerjasama tersebut, Rusia akan membiayai dan melatih dua orang astronot Malaysia dan salah satu diantaranya akan dijadikan kandidat untuk berangkat ke International Space Station (ISS) yang direncanakan pada bulan Oktober 2007.
Program pengiriman astronot ini merupakan program pionir yang akan membawa Malaysia dalam eksplorasi teknologi di masa mendatang. Tujuan utama program ini adalah untuk peningkatan sains dan teknologi dalam masyarakat dan dalam industri.
Melalui program ini, tentu saja akan diperoleh ilmu dari Rusia maupun negara lain yang akan dapat digunakan untuk pengembangan space science dan aplikasi zero gravity di Malaysia.
Setelah memilih lebih dari 10 ribu kandidat, terpilih lah dua kandidat utama yang akan belajar di Rusia dan salah satunya diterbangkan ke ISS. Keduanya adalah Dr. Sheikh Muszaphar Sukhor, 34 tahun, ahli ortopedi dari RS Universitas Kebangsaan Malaysia dan Dr. Faiz Khalid, seorang dokter gigi.
2 September 2007, Dr. Sheikh Muszaphar Sukhor menjadi astronot pertama Malaysia yang diberangkatkan ke ISS. Keduanya bukan hanya punya kesempatan belajar banyak namun juga mencatatkan nama mereka dalam sejarah Malaysia sebagai orang pertama yang akan berada di luar angkasa.
Bagaimana dengan Indonesia?
Deputi Bidang Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin menjelaskan, Indonesia pernah merancang penerbangan astronot. "Terbang bersamaan deangan peluncuran satelit Indonesia. Tapi mekanisme itu batal, ada peritiwa meledaknya Challengger, kemudian kita mundur lagi," kata dia.
Dia menambahkan, Malaysia bisa mengirimkan astronot lebih awal karena mereka punya uang. "Jadi bukan karena Malaysia lebih unggul, itu hanya masalah dana saja," kata dia. Teknologi keantariksaan Indonesia tak kalah dengan negara lain.
Indonesia, dia menambahkan, bisa saja melakukannya jika ada dana. "Kita pun kalau punya uang bisa saja. Kapan itu? Tinggal kebijakan nasional kita mampu membiayai pengiriman satelit dan astronot atau tidak," kata dia.