Gabung menjadi member BelajarAstro KLUB yuk! Cek benefitnya~

Saran pencarian

90 Tahun Observatorium Bosscha

90 Tahun Observatorium Bosscha
Observatorium Bosscha. Kredit: Bosscha
Info Astronomy — Tak banyak yang menyadari, tahun ini Observatorium Bosscha genap berusia 90 tahun. Sejak Sabtu (20/4/2013), acara pembuka rangkaian peringatan 90 tahun Observatorium Bosscha sekaligus Bulan Budaya Bernalar 2013 sudah dimulai.

Penelitian tentang asteroid dan benda langit lain di Observatorium Bosscha mengilhami kuliah umum ”Melintas dan Mengitari Bumi” oleh ahli tata surya Institut Teknologi Bandung, Dr Budi Dermawan, pekan lalu.

Acara dilanjutkan dengan konferensi pers tentang ”90 Tahun Observatorium Bosscha dan Masa Depan Astronomi di Indonesia”, Bulan Budaya Bernalar 2013, serta menikmati eksposisi di kompleks Observatorium Bosscha, Lembang, Jawa Barat.

Mulai dibangun tahun 1923—saat para astronom menyadari bahwa teleskop besar masih berpusat di belahan bumi utara sehingga perlu pengimbang di belahan bumi selatan agar bisa komprehensif mengamati sistem galaksi—inilah satu-satunya observatorium astronomi besar di Indonesia hingga kini.

Perjalanan

Adalah Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV) atau Perhimpunan Bintang Hindia Belanda yang dalam rapat pertamanya memutuskan pembangunan observatorium di Indonesia. Dalam rapat itu, Karel Albert Rudolf Bosscha, pemilik perkebunan teh Malabar yang juga peminat astronomi, bersedia menjadi penyandang dana utama. Atas jasanya, Bosscha diabadikan menjadi nama observatorium.

Bosscha ditemani Rudolf A Kerkhoven, keponakan sekaligus sesama anggota NISV. Kerkhoven menawarkan teleskop Zeiss bergaris tengah 13 sentimeter miliknya, jam astronomi Richter, dan sebuah teleskop transit yang berjasa besar menentukan posisi geografis Indonesia sebagai pelengkap.

Sebenarnya kapan persisnya pembangunan Observatorium Bosscha dimulai tidak diketahui. Karena itu, Komunitas Astronomi Indonesia sepakat memilih 18 Oktober 1951—saat GB van Albada dikukuhkan sebagai Guru Besar Astronomi pertama ITB—sebagai hari ulang tahun pendidikan astronomi di ITB dan Observatorium Bosscha.

Observatorium ini menjadi bagian dari ITB, setelah ITB berdiri tahun 1959. Sejak saat itu, Bosscha difungsikan sebagai lembaga penelitian dan pendidikan astronomi.

Kontribusi

Dalam perjalanan panjangnya, peralatan Observatorium Bosscha—yang semula hanya memiliki teropong refraktor ganda bergaris tengah lensa 60 sentimeter—terus bertambah. Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) menyumbangkan teleskop Schmidt pada awal 1960-an, yang banyak digunakan mengamati galaksi Bima Sakti.

Tahun 1989 ada tambahan teleskop Goto dari Pemerintah Jepang. Tahun 2004, teleskop GAO-ITB diresmikan penggunaannya, dan teleskop Surya tahun 2009.

Kepala Observatorium Bosscha Dr Mahasena Putra mengungkapkan, semula Observatorium Bosscha termasuk salah satu dari beberapa observatorium di belahan bumi selatan yang diperhitungkan. Namun, saat ini, Observatorium Bosscha dengan teleskop dan instrumen kecil mulai ketinggalan.

”Baru-baru ini, Thailand meresmikan institut astronomi yang mengoperasikan teleskop modern berdiameter 2,4 meter. Teleskop dengan diameter lebih dari 8 meter juga sudah ada beberapa,” kata Mahasena.

Meski demikian, Observatorium Bosscha telah menghasilkan banyak laporan dari belahan bumi selatan dan berkontribusi besar terhadap riset astronomi dunia. Observatorium ini, yang kemudian dilengkapi dengan Wisma Kerkhoven—tempat kegiatan ilmiah dan sekaligus museum astronomi—adalah saksi dedikasi terhadap ilmu pengetahuan.

Di sini hadir The Pik Sin, orang Indonesia pertama yang meraih gelar doktor bidang astronomi (1959) dan menjadi Direktur Observatorium Bosscha ketujuh (1959-1968). Tahun 1976 ada Bambang Hidayat, orang Indonesia pertama yang diangkat menjadi Guru Besar Astronomi ITB dan kemudian menggantikan The Pik Sin (1969-1999).

Penghargaan internasional juga bisa dilihat dari empat astronom Indonesia—dan pernah memimpin Observatorium Bosscha—yang diabadikan menjadi nama asteroid oleh Perserikatan Astronomi Internasional. Mereka adalah Bambang Hidayat, Moedji Raharto, Dhani Herdiwijaya, dan Taufiq Hidayat.

Dengan segala keterbatasannya, Observatorium Bosscha terus meneliti dan mendidik, serta, terutama, menumbuhkan kecintaan pada sains dan budaya bernalar.

Peluang

Menurut Mahasena, keberadaan observatorium ini tidak bisa dipisahkan dari kelompok keahlian dan Program Studi Astronomi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ITB. ”Generasi muda yang berminat belajar astronomi di ITB semakin banyak dan berkualitas sehingga mereka bisa diharapkan menjadi motor penggerak astronomi Indonesia,” katanya.

Aktivitas astronomi yang semakin maju akan menumbuhkan kerja sama internasional sehingga calon astronom dan astronom muda bisa mendapatkan tantangan dan tempat yang kondusif untuk berkarya.

”Namun, fasilitas untuk berbicara lebih banyak di frontier astronomi berada di luar jangkauan budget Observatorium Bosscha saat ini sehingga astronom harus pandai menemukan tantangan yang bisa diselesaikan dengan fasilitas yang ada,” ucap Mahasena.

Dengan sumber daya terbatas, sebelum fasilitas pengamatan baru tersedia, yang paling penting saat ini adalah menjaga lingkungan dan kegelapan langit di sekitar Lembang. Ini menjadi taruhan karena, seperti diungkapkan Henry David Thoreau, tanpa observatorium, teleskop, dan terutama astronom, kita tidak akan menemukan hal-hal baru di semesta. [Kompas Cetak]

Posting Komentar

Kami sangat senang menerima komentar dari Anda. Sistem kami memoderasi komentar yang Anda kirim, jadi mungkin membutuhkan waktu beberapa saat untuk komentar Anda muncul di sini. Komentar dengan link/url akan otomatis dihapus untuk keamanan. Berkomentarlah dengan sopan dan santun.